Beranda | Artikel
Kritik atas Istilah Persalinan Syari, Persalinan Maryam, atau Persalinan Qurani (Quranic Birth) (Bag. 1)
Jumat, 25 Oktober 2019

Mencari Petunjuk Syariat dalam Masalah Persalinan

Melahirkan secara normal, tanpa robekan, tanpa jahitan, tanpa rasa sakit (nyeri) yang berlebihan, dan tanpa operasi merupakan dambaan setiap ibu hamil menjelang persalinan. Sehingga banyak di antara kita yang kemudian mengusahakan bagaimanakah cara agar kita bisa mendapatkannya saat persalinan nantinya. 

Sebagian kalangan kemudian “mencari petunjuk dari Al-Qur’an dan hadits Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam” untuk mengetahui adakah petunjuk syariat dalam masalah persalinan. Lalu sampailah mereka ke surat Maryam yang menceritakan bagaimanakah kisah ibunda Maryam melahirkan Nabi ‘Isa ‘alaihis salaam. Dari kisah bunda Maryam tersebut, kemudian diberilah label (istilah) “persalinan syar’i”, “persalinan Maryam”, atau “persalinan Qur’ani” sehingga seolah-olah yang selain itu dikesankan tidak syar’i.

Baca Juga: Bolehkah Operasi Caesar Dengan Adanya Indikasi Medis?

Tafsir Surat Maryam Ayat 22-26

Bagaimanakah tafsir ulama tentang ayat tersebut?

Proses persalinan Nabi ‘Isa ‘alaihis salaam disebutkan oleh Allah Ta’ala dalam Al-Qur’an surat Maryam 22-26. Allah Ta’ala berfirman,

فَحَمَلَتْهُ فَانْتَبَذَتْ بِهِ مَكَانًا قَصِيًّا

“Maka Maryam mengandungnya, lalu ia menyisihkan diri dengan kandungannya itu ke tempat yang jauh.”

فَأَجَاءَهَا الْمَخَاضُ إِلَى جِذْعِ النَّخْلَةِ قَالَتْ يَا لَيْتَنِي مِتُّ قَبْلَ هَذَا وَكُنْتُ نَسْيًا مَنْسِيًّا

“Maka rasa sakit akan melahirkan anak memaksa dia (bersandar) pada pangkal pohon kurma. Dia berkata, “Aduhai, alangkah baiknya jika aku mati sebelum ini, dan aku menjadi barang yang tidak berarti, lagi dilupakan.”

فَنَادَاهَا مِنْ تَحْتِهَا أَلَّا تَحْزَنِي قَدْ جَعَلَ رَبُّكِ تَحْتَكِ سَرِيًّا

“Maka Jibril menyerunya dari tempat yang rendah, “Janganlah kamu bersedih hati, sesungguhnya Tuhanmu telah menjadikan anak sungai di bawahmu.”

وَهُزِّي إِلَيْكِ بِجِذْعِ النَّخْلَةِ تُسَاقِطْ عَلَيْكِ رُطَبًا جَنِيًّا

“Dan goyanglah pangkal pohon kurma itu ke arahmu, niscaya pohon itu akan menggugurkan buah kurma yang masak kepadamu.”

فَكُلِي وَاشْرَبِي وَقَرِّي عَيْنًا فَإِمَّا تَرَيِنَّ مِنَ الْبَشَرِ أَحَدًا فَقُولِي إِنِّي نَذَرْتُ لِلرَّحْمَنِ صَوْمًا فَلَنْ أُكَلِّمَ الْيَوْمَ إِنْسِيًّا

“Maka makan, minum dan bersenang hatilah kamu. Jika kamu melihat seorang manusia, Maka katakanlah, “Sesungguhnya aku telah bernazar berpuasa untuk Tuhan yang Maha pemurah, maka aku tidak akan berbicara dengan seorang manusia pun pada hari ini.” (QS. Maryam [19]: 22-26)

Baca Juga: Polemik Khitan Wanita

Klaim Metode Persalinan Sesuai Al Qur’an

Membaca kisah di atas, sebagian kalangan kemudian meng-klaim bahwa inilah metode persalinan yang diajarkan oleh Al-Qur’an. Kami kutip sebagian pernyataan mereka berikut ini:

“Sebagai seorang muslim yang taat maka sebelum mencari solusi dari tempat lain, maka kita cari dulu di Al Qur’an dan Hadist Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Bila kita mencari solusi bagaimana cara melahirkan yang yang tepat, maka tanyalah kepada Pencipta Manusia. karena dialah Dzat yang paling mengenal Manusia. Al Qur’an adalah kalam Allah, kitab yang telah sempurna ini, menjadi petunjuk bagi orang yang bertaqwa sampai hari kiamat. Untuk proses persalinan, dengan sangat jelas Allah memberikan petunjuk kepada kita di surah Maryam. Di situ Allah menjelaskan, bagaimana seorang perawan (bunda Maryam) bisa melahirkan sendiri, secara normal, tanpa operasi, hanya dengan mengikuti panduan petunjuk dari Allah. Dan yang luar biasa petunjuk yang diturunkan Allah kepada bunda Maryam, Allah wahyukan kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, agar menjadi petunjuk bagi kita semua. Inilah bukti cinta Allah kepada hamba-Nya, Dia ingin hamba-Nya selamat. maka diturunkanlah petunjuk yang nyata, yaitu Al Qur’an. Maka, bila para ibu ingin melahirkan normal, tanpa operasi, maka ikutilah petunjuk yang sama yang Allah berikan kepada bunda Maryam.” [1]

Baca Juga: Pro Kontra Hukum Imunisasi dan Vaksinasi

Bagaimana Teknik Persalinan Maryam?

Inti dari perkataan mereka adalah “posisi melahirkan dalam posisi berdiri dengan berendam di air setinggi lutut.” Posisi berdiri mereka ambil dari gerakan Maryam menggoyang pohon kurma. Sedangkan melahirkan di kolam air setinggi lutut mereka ambil dari perkataan Jibril ‘alaihis salaam yang mengabarkan bahwa ada sungai di bawah bunda Maryam. Entah, darimana diambil kesimpulan “setinggi lutut” ini (??). 

Kami sampaikan, kalau kita menganggap kisah ini sebagai “petunjuk Allah Ta’ala” untuk melahirkan, maka konsekuensinya -kalau mau konsisten- seorang ibu hamil tidak boleh ditemani siapa pun ketika melahirkan, harus menjauh dari keluarganya dan juga orang-orang di sekitarnya. Dalam Tafsir Jalalain disebutkan ketika menjelaskan tafsir ayat ke-22 surat Maryam,

{بِهِ مَكَانًا قَصِيًّا{ بَعِيدًا من أهلها

“(Maksud firman Allah Ta’ala) “ke tempat yang jauh”, adalah “jauh dari keluarganya”.” (Tafsir Jalalain, hal. 398)

Akan tetapi, ternyata mereka tidak konsisten dalam masalah ini. Hal ini karena persalinan syar’i menurut penjelasan mereka masih dibantu oleh orang lain. Berikut kami kutipkan deskripsi persalinan Maryam,

“Jibril menyeru dari tempat yang lebih rendah adalah sebuah petunjuk dari Allah, agar para suami, atau bidan yang membersamai persalinan, memberikan support dari posisi yang lebih rendah dari ibu yang akan melahirkan. Ini akan memberikan efek psikologi yang menenangkan bagi sang ibu. sehingga ibu bisa rileks dalam menyambut kehadiran sang buah hati.” [1]

Dan penting untuk diperhatikan adalah bahwa di antara ciri kekeliruan dalam sebuah konsep pemikiran adalah tidak konsisten dalam bertindak.

Ibunda Maryam menjauhkan diri dari manusia ke tempat yang jauh adalah karena tuduhan bahwa dia hamil sebagai hasil dari zina. Sehingga ibunda Maryam memilih menjauh dari masyarakat (kaum) yang telah menuduhnya berzina dan memilih berusaha melahirkan sendirian. 

Syaikh ‘Abdurrahman As-Sa’di rahimahullah mengatakan, 

لما حملت بعيسى عليه السلام، خافت من الفضيحة، فتباعدت عن الناس

“Ketika Maryam mengandung ‘Isa ‘alaihis salam, dia khawatir akan diketahui banyak orang. Maka Maryam mengucilkan diri ke tempat yang jauh.” (Taisiir Karimir Rahman, hal. 491)

Jadi, Maryam ‘alaihas salaam mengucilkan diri ke tempat yang jauh dan sendirian bukan karena itulah petunjuk atau syariat dari Allah Ta’ala bahwa Maryam bisa melahirkan sendirian tanpa bantuan siapa pun. Lalu sekarang pun kita diminta menirunya dengan cara melahirkan sendirian.

Kemudian, gerakan Maryam menggoyang pohon kurma bukanlah maksudnya bahwa itu adalah posisi terbaik ketika melahirkan. Tidak ada satu pun kitab tafsir terkemuka yang menjelaskan demikian. Akan tetapi, faidah yang disampaikan oleh para ulama adalah hendaknya kita berusaha seminimal mungkin (baca: “mengambil sebab”) untuk bisa meraih hasil (tujuan) yang kita inginkan. Meskipun kalau memakai logika biasa, usaha kita tersebut tidak ada artinya. Pohon kurma adalah pohon yang besar dan kokoh, yang dengan goyangan biasa tidaklah mungkin buahnya bisa jatuh. Apalagi, Maryam menggoyang pohon kurma itu dengan goyangan yang sangat lemah pada bagian pangkal pohon karena sambil menahan sakit menjelang melahirkan. 

Syaikh Muhammad bin Shalih Al-‘Utsaimin rahimahullah menjelaskan,

والعادة أن الشيء إذا هز من جذعه لا يتحرك، إذا هز من فوق يتحرك لكن الجذع لا يتحرك، هنا هزت من الجذع؛ لأنها لا تستطيع أن تصعد.

“Menurut kebiasaan, jika sesuatu (pohon) itu digoyang pada pangkalnya, dia tidak akan bergerak, berbeda jika digoyang dari atas baru akan bergerak. Akan tetapi, jika digoyang bagian pangkal tidak akan bergerak. Ketika itu, Maryam menggoyang pangkal pohon kurma karena memang dia tidak mampu memanjat ke atas.” (Al-Liqaa’ Asy-Syahriyyah, 6: 1)

Baca Juga: Hukum Memakai Kondom Untuk Mencegah Kehamilan

Faidah dari Ulama Tentang Persalinan Maryam

Sehingga faidah yang disebutkan oleh para ulama adalah agar manusia tidak pasrah atau menyandarkan hati kepada Allah Ta’ala secara totalitas, tidak melakukan usaha lahiriyah sedikit pun ketika menginginkan sesuatu. Hal ini karena sekecil apa pun usaha, akan ada nilainya di sisi Allah Ta’ala. 

Syaikh ‘Abdul ‘Aziz bin Baaz rahimahullah berkata,

وكذلك لو جلس في البيت أو في المسجد يتحرى الصدقات لم يكن ذلك مشروعا ولا توكلا بل يجب عليه أن يسعى في طلب الرزق ويعمل ويجتهد مع القدرة على ذلك ومريم رحمة الله عليها لم تدع الأسباب ومن قال ذلك فقد غلط وقد قال الله لها : { وَهُزِّي إِلَيْكِ بِجِذْعِ النَّخْلَةِ تُسَاقِطْ عَلَيْكِ رُطَبًا جَنِيًّا } (1) الآية , وهذا أمر لها بالأسباب وقد هزت النخلة وتعاطت الأسباب , حتى وقع الرطب فليس في سيرتها ترك الأسباب

“Demikian pula ketika seseorang itu hanya duduk di rumah atau di masjid sambil berharap akan ada yang memberi sedekah, tentu hal ini tidak disyariatkan dan juga bukan tawakkal. Akan tetapi, wajib baginya untuk mencari rizki, berbuat sesuatu, dan bersungguh-sungguh sesuai kemampuannya. Bunda Maryam tidaklah meninggalkan sebab (usaha). Siapa saja yang mengatakan demikian (pasrah saja tanpa usaha apapun), dia telah keliru. 

Allah Ta’ala mengatakan (yang artinya), “Dan goyanglah pangkal pohon kurma itu ke arahmu, niscaya pohon itu akan menggugurkan buah kurma yang masak kepadamu.”

Ini (jatuhnya kurma) adalah perkara yang memiliki sebab. [2] Maryam menggoyang pohon kurma, sehingga dia telah mengambil sebab (berusaha) sehingga kurma bisa jatuh. Tidak ada dalam riwayat hidup Maryam bahwa beliau meninggalkan usaha.” (Majmu’ Al-Fataawa Ibnu Baaz, 4: 427)

Syaikh Muhammad bin Shalih Al-‘Utsaimin rahimahullah menjelaskan bahwa kejadian ini adalah karena karamah yang dimiliki oleh Maryam ‘alaihas salaam. Beliau rahimahullah berkata,

هذا من آيات الله وهو من كرامة مريم عليها السلام.

“Kejadian ini adalah tanda (kekuasaan) Allah dan juga merupakan karamah yang dimiliki oleh Maryam ‘alaihas salaam.(Fataawa Nuur ‘ala Darb, 3: 396)

Tujuan Maryam menggerakkan pohon kurma adalah agar kurmanya jatuh sebagai sumber makanan, bukan dimaksudkan “itulah gerakan yang memudahkan proses persalinan”. Bukan pula bahwa gerakan itu dimaksudkan untuk ta’abbud (beribadah) kepada Allah Ta’ala secara khusus sehingga berpahala. Oleh karena itu, dalam ayat tersebut Allah Ta’ala katakan,

تُسَاقِطْ عَلَيْكِ رُطَبًا جَنِيًّا

“ … niscaya pohon itu akan menggugurkan buah kurma yang masak kepadamu.”

Apalagi kita dapati penjelasan sebagian ulama tafsir yang menyebutkan bahwa gerakan tersebut dilakukan setelah Nabi ‘Isa ‘alaihis salaam dilahirkan, bukan ketika proses melahirkan Nabi ‘Isa ‘alaihis salaam, meskipun pendapat ini kurang kuat. [3]

Ulama ahli tafsir terkemuka, Ibnu Katsir rahimahullah berkata,

وَقَالَ مُجَاهِدٌ: فَناداها مِنْ تَحْتِها قَالَ: عِيسَى ابْنُ مَرْيَمَ، وَكَذَا قَالَ عَبْدُ الرَّزَّاقِ عَنْ مَعْمَرٍ عَنْ قَتَادَةَ قَالَ: قَالَ الْحَسَنُ: هُوَ ابْنُهَا، وَهُوَ إِحْدَى الرِّوَايَتَيْنِ عَنْ سَعِيدِ بن جبير أنه ابنها

“Mujahid berkata bahwa “yang menyeru dari arah bawah” adalah ‘Isa bin Maryam. Demikian juga pendapat ‘Abdurrazzaq dari Ma’mar dari Qatadah dari Al-Hasan bahwa yang menyeru demikian adalah anaknya Maryam (Nabi Isa). Dan pendapat ini adalah salah satu dari dua riwayat dari Sa’id bin Jubair yang juga menegaskan bahwa seruan itu berasal dari anak Maryam (yaitu, Nabi Isa).” (Tafsir Ibnu Katsir, 5: 198)

Dari sini dipahami bahwa gerakan menggoyang pohon kurma itu dilakukan oleh Maryam setelah Nabi ‘Isa ‘alaihis salaam lahir, bukan ketika proses persalinan. Sehingga mengatakan bahwa gerakan yang mirip dengan gerakan menggoyang pohon kurma adalah posisi atau gerakan terbaik untuk memudahkan persalinan adalah perkataan yang tidak sesuai dengan tafsir sebagian ulama dalam masalah ini. 

Oleh karena itu, kita dapati penjelasan ulama bahwa kurma adalah makanan pilihan ketika masa nifas (masa setelah melahirkan). Al-Baghawi rahimahullah mengutip perkataan Ar-Rabi’ bin Khutsaim,

مَا لِلنُّفَسَاءِ عِنْدِي خَيْرٌ مِنَ الرُّطَبِ، وَلَا لِلْمَرِيضِ خَيْرٌ مِنَ الْعَسَلِ

“Menurutku, makanan terbaik bagi wanita nifas adalah kurma dan makanan terbaik bagi orang sakit adalah madu.” (Lihat Tafsir Al-Baghawi, 5: 227)

Buah kurma mengandung zat yang memiliki efek memperkuat kontraksi rahim, sehingga dalam beberapa penelitian dikatakan bisa mengurangi jumlah darah yang keluar setelah persalinan. 

Bandingkan antara penjelasan para ulama di atas dengan apa yang diklaim oleh mereka yang menyerukan “persalian syar’i” atau “persalinan Maryam” yaitu,

“Menggoyangkan pangkal pohon kurma ke arahmu, adalah sebuah petunjuk dari Allah yang sangat luar biasa dalam membantu proses persalinan.” [1]

Demikian juga klaim berikut ini,

“Insya Allah bila gerakan ini di lakukan, berdiri dengan kaki membuka, di atas air, sambil melakukan gerakan menarik, sambil melakukan gerakan berdiri jongkok. maka atas ijin Allah, sang buah hati akan keluar dengan mudah, tanpa sobekan, tanpa jahitan, tanpa operasi.” [1]

Demikian pula berkaitan dengan masalah sungai. Ini bukan maksudnya agar ketika melahirkan dengan cara berendam di kolam air setinggi lutut. Akan tetapi, sungai di sini adalah sumber air minum untuk Maryam agar bisa melepaskan dahaga. Sekali lagi, kami bingung dengan klaim mereka bahwa kolam airnya itu “harus” setinggi lutut, padahal umumnya sungai adalah lebar dan dalam. Mengapa tidak dikatakan agar teknik persalinan Maryam itu dengan cara melahirkan di sungai sekalian? 

Syaikh Dr. Shalih Al-Fauzan hafidzahullahu Ta’ala berkata ketika menjelaskan tafsir ayat ke-26,

والسري : هو النهر الذي تشرب منه ولهذا قال : { فَكُلِي وَاشْرَبِي وَقَرِّي عَيْنًا }

“(Yang dimaksud dengan) “sariyya” adalah sungai yang bisa diminum airnya. Oleh karena itu Allah Ta’ala mengatakan (yang artinya), “Maka makan, minum dan bersenang hatilah kamu.” (Al-Muntaqa min Fataawa Al-Fauzan, 34: 21)

Syaikh ‘Abdurrahman As-Sa’di rahimahullah juga menjelaskan bahwa sungai ini adalah untuk melepaskan dahaga. Beliau rahimahullah berkata ketika menjelaskan makna kata “sariyya”,

أي: نهرا تشربين منه.

“Yaitu sungai yang bisa dimanfaatkan untuk minum.” (Taisiir Karimir Rahman, hal. 491)

Baca Juga:

[Bersambung]

***

@Kantor YPIA, 22 Shafar 1441/21 Oktober 2019

Penulis: M. Saifudin Hakim


Artikel asli: https://muslim.or.id/52258-persalinan-syari-persalinan-maryam-persalinan-qurani-1.html